Jumat, 27 Januari 2012

Tulisan tentang TKW

 JUDUL  :  BELUM ADA

Oleh: Burhanita

TKW, sebuah ‘Sucsess Story’

Beberapa bulan yang lewat, aku mendapatkan seorang Pembantu ‘sementara’.  Dia adalah TKW yang berasal dari sebuah kampung di Karawang, yang harus menunggu sekitar 4 bulan untuk bisa kembali lagi ketempat kerjanya di luar negeri.  Meskipun profesinya sebagai PRT dan hanya tamatan SD, penampilannya  cukup bersih dan terpelajar, tidak sebagaimana PRT layaknya.   Dia bercerita tentang nyamannya menjadi PRT seorang Guru SD di Arab Saudi.  Sudah 2 tahun menjadi TKW, dan harus kembali ke Indonesia karena keperluan imigrasi.  Agen-nya menyelesaikan segala persoalan administrasi keimigrasian ini, dan butuh waktu 4 bulan untuk kembali lagi bekerja.  Motivasinya bekerja untuk menghidupi orang tua dan adik-adiknya.  Dia sendiri adalah seorang janda dengan seorang anak. 
Ternyata hidup menjadi TKW membawa kebahagiaan tersendiri untuk dirinya, selain mendapatkan uang yang cukup untuk keluarganya, dia pun mendapatkan kebahagiaan batin yang lain.  Majikannya memperlakukan dia dengan baik, dan sangat memperhatikan kewajiban ibadahnya sebagai seorang Muslim.  Bahkan mewajibkan kepadanya untuk ‘setor’ hafalan Al-Qur’an.  “Ini hadiah saya hafal juz. 30 dari Majikan saya, “ katanya sambil memperlihatkan sebuah cincin di jari manisnya.  Saya tanya kepadanya bagaimana beban kerja di sana. “Wah..enak, Bu.  Semuanya pake mesin.  Nyuci pake mesin, potong rumput pake mesin, bersihin karpet pake mesin, gak seperti disini,” katanya polos. 
Di dekat rumahku juga ada penampungan TKW sementara.  Aku sering melihat kerumunan TKW yang tidak punya aktivitas, karena menunggu pemberangkatan.  Jika ngobrol dengan mereka, rata-rata mereka antusias menjadi TKW karena terdesak himpitan ekonomi, dan tidak melihat solusi selainnya.  Saat kutanya apakah tidak takut jika mendapat nasib buruk sebagaimana berita-berita TKW yang disiksa di TV atau di koran, mereka menjawab, “nggak tuh...asal kita baik-baik aja dan tidak macam-macam, gak akan terjadi seperti itu.  Yang sudah-sudah juga baik-baik saja, kok.”  Aku hanya bisa meng-aminkan.
Aku dapatkan juga di media-media, memang banyak berita-berita negatif tentang TKW.  Nasib beberapa TKW yang sangat mengenaskan, mengundang simpati dan reaksi dari berbagai pihak, yang berujung pada rencana pemberhentian pengiriman TKW/TKI pada tahun 2017.  Tapi di lain pihak, cerita sukses TKI dan TKW juga tidak bisa kita pungkiri.  Mereka berangkat bekerja ke luar negeri untuk beberapa waktu tertentu.  Satu dua tahun setelah bekerja di luar negeri, tidak sedikit pulang yang pulang ke Indonesia dengan modal uang yang cukup untuk membuka usaha, dan sukses.  Ada lagi beberapa yang bekerja hanya beberapa waktu kemudian mendapat modal bahkan beasiswa untuk melanjutkan studi.  Kisah-kisah yang lainnya adalah kepuasan karena mendapat uang yang lebih dari cukup -walau dipotong cukup besar oleh agen atau orang yang dianggap ‘turut berjasa’- dan selalu ingin kembali menjadi TKW ke luar negeri.
Aku membayangkan, jika aku adalah TKW yang bernasib ‘baik’ seperti mereka di atas.  Kemudian tidak dapat lagi bisa menjadi TKW karena Pemerintah mengambil kebijakan larangan pengiriman TKW, bagaimana nasibku selanjutnya?  Bagaimana juga nasib keluarga yang menjadi tanggunganku kelak?  Apa Pemerintah sanggup memberi alternatif lain?

 TKW,  ‘Sang pahlawan devisa’

Tenaga Kerja Indonesia (TKI) adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja dalam jangka waktu tertentu dengan menerima upah atau penghasilan tertentu. Mereka bekerja di Luar Negeri berdasarkan perjanjian kerja melalui prosedur yang telah ditetapkan.  Istilah TKI seringkali dikonotasikan tidak tepat, sebagai pekerja kasar atau rendahan.. Padahal dalam kenyataannya banyak TKI yang bekerja di Luar Negeri sebagai Tenaga Profesional dalam berbagai bidang kehidupan dan profesi, termasuk mereka yang bekerja dalam lingkungan rumah tangga, sebagai Pembantu Rumah Tangga yang profesional. Kesan negatif yang muncul kepermukaan, karena banyaknya kasus-kasus kekerasan dan ketidak-adilan terhadap TKI yang disebabkan oleh lemahnya sistem rekruitmen dan praktek percaloan sehingga menghadirkan TKI illegal disamping tidak ada Perjanjian yang dapat melindungi kepentingan TKI dimaksud. Secara kasat mata, fakta permasalahan TKI, lebih khusus Tenaga Kerja Wanita (TKW) tersebut sangat mudah dihadirkan, khususnya di negara negara Timur Tengah. Ditambah lagi perlakuan buruk yang diterima para TKW serta lemahnya perlindungan terhadap mereka.

              Tercatat di BNP2TKI, tahun 2008 saja, terdapat 45.626 kasus yang menimpa 4,3 juta TKI kita di Luar Negeri. Jumlah kasus terbesar terjadi di Arab Saudi, 22.035 kasus, dan beberapa Negara Timur Tengah lainnya, seperti UEA 3.866 kasus, dan Qatar 1.516 kasus. Menurut data pemerintah, jumlah TKI di luar negeri saat ini sekitar 3,27 juta orang. Sementara menurut Lembaga Migrant Care, jumlah TKI kita diperkirakan mencapai 4,5 juta orang. Sebagian besar di antaranya atau sekitar 70% adalah TKW yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Dilihat dari tingkat pendidikan, sebagian besar TKI berpendidikan Sekolah Dasar, bekerja di sektor informal, sementara 30% sisanya adalah TKI terdidik dan terampil yang mayoritas bekerja di sektor formal. TKI yang bekerja di Malaysia merupakan jumlah TKI terbesar, yaitu sekitar 2 juta orang.

            Di satu pihak, pengiriman TKI kita sesungguhnya memiliki potensi besar bagi perekonomian Indonesia dalam memperoleh cadangan devisa. Berdasarkan data yang dikompilasi Bank Indonesia, jumlah remittance yang diperoleh dari TKI pada tahun 2008 sebesar US$ 6,6 miliar, tahun 2009 sebesar US$ 6,617 miliar, dan sampai September 2010 mencapai US$ 5,03 miliar. Begitu juga kontribusinya terhadap Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) yang pada tahun 2008 tercatat 1,3%, 2009 sebesar 1,2%, dan pada Kuartal II-2010 sebesar 1%. Jika melihat data tersebut tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa TKI yang dikenal sebagai pahlawan devisa memberikan kontribusi yang besar bagi negara, di lain pihak permasalahan yang muncul tidak segera diselesaikan, seolah hanya merupakan beban.


Pengiriman TKW, sebuah ‘dilema’ kah?

    Banyak kabar yang memberitakan tentang kekerasan terhadap TKW yang bekerja di luar negeri.  Meski demikian, resiko ini tetapd iambil oleh para TKW dan mereka rela menjadi PRT dengan meninggalkan keluarganya di rumah semata-mata karena ingin mencukupi kebutuhan keluarganya.  Keterpaksaan itu mereka lakukan karena tidak ada lapangan kerja yang memadai. Jangankan untuk mereka yang hanya lulus sekolah dasar, lulusan sarjanapun menganggur. Angka pengangguran sarjana di Indonesia bahkan sampai mencapai 1,1 juta orang pertahun.
    Kekerasan terhadap TKW sering terjadi, mereka mengalami perlakuan yang sangat tidak wajar dari majikannya. Bahkan di beberapa negara tujuan, TKW dipersepsikan sebagai ‘budak sewaan’ sehingga Majikan punya hak penuh terhadap mereka.  Sementara pihak Pemerintah dituding tidak sanggup mengatasi dan memberikan perlindungan terhadap TKW ini.  Penanganan kasus TKW ini terlihat tidak serius, sehingga banyak munculnya kasus TKW yang terbunuh dan terluka, itu semua merupakan suatu bukti bahwa sangat lemahnya perlindungan pemerintah terhadap warga negaranya.
    Pemerintah bersama para Pengarah Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) begitu sangat bersemangat apabila menyangkut urusan duit. TKW diperas keringatnya untuk kepentingan negara.  Sebelum berangkat keluar negeri, mereka sudah dibebani banyak biaya hingga belasan juta, saat kembalinya TKI ke tanah air, mereka juga diperas oleh banyak pihak, karena dianggap banyak duit. Akan tetapi setelah TKI sudah di serahkan ke tangan majikannya, Pemerintah beserta PJTKI seakan melepaskan tanggung jawabnya, mereka tidak memantau dan mengontrol nasib TKW selanjutnya.
Berikut adalah data kasuspenderitaan dan penganiayaan  yang dialami oleh TKW Indonesia di beberapa negara :



(data masih dalam proses ngumpulin, belum selesai...)
Selanjutnya, arahan tulisan saya :
-bagaiman pandangan syariat Islam tentang ini
-apa solusinya jika tidak lagi menjadi TKW
Wallahu’alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar