Rabu, 04 Januari 2012

Cianjur Kota Santri

Imas Idul Fitri
Semester 5 sore

Cianjur Kota Santri
    Pernahkah anda datang ke kota Cianjur? Sekedar lewat atau bahkan berkunjung ke rumah saudara? Jika pernah, pasti anda sudah terbiasa ketika memasuki kota Cianjur akan melihat tulisan gerbang marhamah. Terus di jalan-jalan banyak sekali anjuran dan slogan yang mencerminkan ajaran Islam. Luar biasa bukan? Atau yang lebih menakjubkan lagi ditempat-tempat umum anda bisa baca nukilan-nukilan hadits, dan berbagai pesantren tradisional akan banyak kita jumpai disana. Jika kita bayangkan mungkin suasana yang seperti itu akan terasa sejuk, penuh harmonisasi dan suasana agamisnya akan lebih terasa, setiap hari kita berada dilingkup lingkungan yang Islami, dibandingkan dengan Jakarta yang terkenal sebagai kota metropolitan.
    Tapi sayang sungguh sayang syariat Islamnya ternyata hanya sekedar berada dalamd jargon, tempelan, dan slogan itu. Jika malam hari anda berjalan keliling Cianjur atau Cipanas anda akan menemui diskotik-diskotik yang masih saja buka dengan bebasnya, meski masyarakat sekitar, ulama bahkan buletin jumat telah berulang kali menyerukan untuk menutup tempat maksiat tersebut. Entah apa yang menghalangi pemerintah daerah hingga tidak menutup tempat tersebut. Sebab jika memang bapak bupati menginginkan Cianjur sebagai kota marhamah yang bersyariat Islam, maka tidak ada tempat untuk diskotik itu, apapun alasannya diskotik-diskotik itu harus ditutup.
    Coba suatu waktu ketika anda berkesempatan untuk berkunjung ke Cipanas, selepas maghrib anda berjalan dari daerah Gadog sampai pasar Cipasar bahkan disamping trotoar posko keamanan sekalipun di sepanjang jalan itu akan anda jumpai para wanita bergincu tebal dan malah kerap kali terjadi transaksi dengan para hidung belang disana. Atau yang lebih marak lagi adalah togel atau disebut juga judi kupon, apalagi yang namanya miras orang yang sehari-harinya tinggal di Cianjur kampungnya pun sudah marak dan menjadi wabah minuman keras.
    Pertanyaan kita sekarang, kemanakah slogan, jargon, dan tempelan2 itu apakah hanya sekedar kata saja? Kemanakah Cianjur yang terkenal sebagai kota Santri itu, apakah hanya sebutan saja?
    Padahal harusnya berimbang ketika marak berdiri pesantren-pesantren maka sudah selayaknya bisa meminimalisir kondisi-kondisi yang tidak baik itu. Bahkan terkadang jika masyarakatnya masih menganut ajaran “nenek moyang” pada bulan-bulan tertentu mereka akan berramai-ramai berkunjung ke Cikundul (salah satu tempat yang dijadikan tempat untuk ziarah) disana mereka ramai-ramai mandi dipemandian umum, laki-laki perempuan campur baur, meminta kepada kuburan seseorang yang dianggap memiliki kelebihan tertentu, pulangnya mereka membawa air dengan taburan tujuh macam bunga. Apakah hal ini tidak termasuk syirik? Tentu ini salah satu kemusyrikan bukan? Lalu dimana para ustadz atau ulama atau santri, atau kiyai yang setiap hari bergelut dengan kajian agama Islamnya.
    Semua fenomena ini tidak bisa kita salahkan hanya pada sebagian pihak, tentunya ini menjadi tanggung jawab kita semua. Bagaimana caranya agar semua fenomena itu dapat kita minimalisir atau bahkan kita rubah paradigma di masyarakat agar lebih baik dan meninggalkan hal-hal yang keji itu.
   
   
   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar