Jumat, 27 Januari 2012

‘HUDUD’ BAGI AFRIANI SUSANTI

BURHANITA

    Afriyani Susanti (29), pengendara mobil Xenia dalam kecelakaan maut di Tugu Tani 3 hari silam, dijerat hukuman pelanggaran lalu lintas dan penggunaan Narkoba.  Tersangka terancam hukuman 5 tahun penjara dan denda 12 juta rupiah karena tidak memiliki SIM dan STNK serta kondisi di bawah pengaruh Narkoba saat mengemudi.
    Beberapa pakar hukum berpendapat, seharusnya pelaku juga bisa dijerat pasal 338 KUHP tentang pembunuhan ‘tersalah’, yaitu pembunuhan tidak terencana atau karena kesalahan.  Ancaman hukumannya 15 tahun penjara.  “Agar ada efek jera”, menurut mereka.
    Jika kita rinci, akibat kecelakaan itu adalah 9 orang tewas mengenaskan, 5 orang harus dirawat di Rumah Sakit, dan beberapa fasilitas umum di jalan raya rusak.  Ini baru akibat yang bersifat langsung yang terlihat secara ‘dzohir’, belum yang bersifat ‘imaterial’.  Pihak Jasa Raharja akan memberikan santunan kepada keluarga korban yang tewas sebesar 25 juta/orang.  Untuk korban luka dijamin akan mendapatkan pengobatan hingga sembuh.
    Sebegitu ringankah sangsi hukuman di Indonesia?  Sebegitu ‘murah’ harga nyawa melayang di sini.  Apa betul akan memberi  efek jera kepada para pelaku kejahatan?  Jika kita pelajari hukum Islam, apa sangsi yang akan diterima oleh Afriyani Susanti?  
    Islam adalah agama kasih sayang yang sangat memperhatikan dan menjaga 5 hal penting dalam kehidupan.  Kelimanya dikenal dengan istilah “maqoshid syariah”, yaitu : menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga kehormatan dan menjaga harta.  Setiap pelanggaran terhadap 5 hal tersebut dikatagorikan sebagai  ‘jinayat’ atau dosa yang mengharuskan adanya sangsi hukuman yang sesuai.  Tujuan penjagaan terhadap lima hal itu adalah untuk menjamin rasa aman setiap individu dan menciptakan kenyamanan bagi  masyarakat.  Hukuman diterapkan agar dapat mendidik pelaku kejahatan sekaligus menciptakan efek jera.   Sehingga mencegah untuk terulangnya kejahatan yang sama.
    Kembali kepada contoh kasus di atas.  Berdasarkan akibat yang ditimbulkan olek pelaku.  Bentuk hukuman yang mungkin dikenakan sebagai sangsi perbuatannya adalah sebagai berikut. 
    Pertama, dalam hal penghilangan 9 nyawa dan anggota tubuh yang rusak karena tertabrak bisa dikenakan hukum ‘qishosh’ jika keluarga korban tidak memaafkan.  Jika dimaafkan, akan terkena hukuman ‘diyat’ atau denda.  Untuk penghilangan nyawa secara ‘tidak terencana’ besarnya diyat adalah 100 ekor unta per orang.  Jika harga unta 15 juta  per ekor maka jumlah denda yang harus dibayarkan kepada keluarga korban adalah 1,5 M per orang.  Untuk sebuah jari yang hilang besarnya 10 ekor unta, untuk satu ruas tulang jari yang hilang 3 ekor unta, untuk sebuah gigi yang hilang 5 ekor unta.  Jadi, tinggal ‘diinventarisir’ saja terhadap korban luka yang sedang dirawat, adakah anggota tubuh yang rusak atau hilang?
    Kedua, dalam hal mengkonsumsi Narkoba atau Miras, ini dapat dianalogikan dengan hukuman bagi peminum ‘khamr’.   Sangsi yang dikenakan bagi peminum khamr adalah dipukul atau dicambuk 40 sampai 80 kali.  Jika mengulang meminumnya, maka harus dicambuk lagi.  Jika sampai kali ke-empat, maka diperintahkan untuk membunuhnya.  Masya Allah, untuk  para pemuda yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi Narkoba atau Miras seperti pelaku, sudah berapa kali mengkonsumsinya? Sudah 4 kali atau lebih?
    Ketiga, dalam hal fasilitas umum di jalan raya berupa rusaknya tratoar atau prasarana-prasarana yang ada.  Pelaku diharuskan membayat diyat sejumlah kerusakan yang ditimbulkan.  Jika tidak sanggup membayar denda, maka dapat diterapkan hukum Ta’zir sebagai penggantinya.  Bisa berupa kurungan (penjara), peringatan keras, atau yang lainnya.
    Ini baru ‘gambaran kasar’ sangsi hukum atas akibat yang ditimbulkan secara materi.  Dan penerapannya pun harus melalui proses yang adil dan prosedural.  Bagaimana dengan akibat yang sifatnya non-materi.  Sebagai contoh, salah satu korban tewas baru saja menikah dan meninggalkan isteri yang sedang hamil 7 bulan.  Siapa yang kelak menanggung hidup janda ini dan anak yatim yang kelak akan lahir?  Lima diantara 9 korban adalah laki-laki yang mungkin menjadi harapan keluarganya.  Ada juga korban seorang ibu yang meninggalkan anak-anaknya.  Memang kematian adalah takdir Allah.  Tetapi  jika karena kelalaian atau kekhilafan seseorang, rasanya tidak salah jika tetap harus dipertanggungjawabkan.
    Kejamkah hukum Islam?  Sepertinya berat sekali hukuman yang dikenakan.  Menurut saya tidak!   Ini bukan sebuah kekejaman, atau sesuatu yang tidak manusiawi.  Ini sebuah proses pendidikan dan  antisipasi pencegahan  timbulnya kejahatan di muka bumi.  Jika tahu bahwa hukumannya seberat ini, tidak akan begitu gegabah seseorang menghilangkan nyawa orang lain.  Atau akan berfikir seribu kali untuk mengkonsumsi Miras dan Narkoba, apalagi mengendarai mobil dalam kondisi ‘sakau’...   

Wallahu’alam
Jazk untuk Ust. Pengajar Fiqih Hudud atas soalnya yang meng’inspirasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar