Sabtu, 28 Januari 2012

BOUNDARY SPANNING LEADERSHIP MENENTUKAN TINGKAT DAYA SAING NEGARA

Oleh TEGUH DJATMIKO
NIM : 01.08.057



Berdasarkan data Global Competitivenes Index (GCI), Indonesia menempati urutan 54 dunia index daya saing globalnya dengan skor 4,26; Kontras dengan peringkat negeri kecil tetangga, singgapura, yang menempati posisi 3 dunia. Apalagi lagi jika kita bandingkan dengan beberapa negara maju di Eropa, maka kita jauh tertinggal.  Meskipun demikian, Indonesia masih memimpin jika dibandingkan dengan vietnam dan kamboja. Sedangkan berdasarkan data IMD World Competitiveness Index Yearbook 2010, peringkat daya saing Indonesia menempati posisi 35 dunia dengan nilai 60,745 dan sangat tertinggal jauh dari tetangga kita singgapura yang menempati posisi pertama dunia dengan nilai 100. 
Upaya pemerintah dalam peningkatan daya saing ini masih mengalami banyak kendala. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) versi pemerintah SBY-JK, industri manufaktur Indonesia menghadapi masalah struktural sebagai berikut. Pertama, masih sangat tingginya kandungan impor bahan baku, bahan antara, dan komponen untuk seluruh industri. Kedua, lemahnya penguasaan dan penerapan teknologi karena industri kita masih banyak yang  bertipe "tukang jahit" dan "tukang rakit". Ada beberapa perusahaan besar yang sangat terkenal di Dunia memanfaatkan Indonesia sebagai salah satu pusat produksinya, memang untuk itu secara umum ekonomi Indonesia terbantu dari sisi penyediaan tenaga kerja namun disisi lain tenaga kerja yang banyak terserap hanya operator penggunaan tehnologi rendah. Ketiga, rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) sebagaimana tercermin dari tingkat pendidikan tenaga kerja industri. Keempat, belum terintegrasinya usaha kecil menengah (UKM) di Indonesia dalam satu mata rantai pertambahan nilai dengan industri skala besar. Andaikata seluruh industri besar bisa ditopang dan terintegrasi dengan UKM maka produktifas dalam negeri akan meningkat sangat tajam, angkatan kerja akan sangat banyak terserap untuk itu. Kelima, kurang sehatnya iklim persaingan karena banyak subsektor industri yang beroperasi dalam kondisi mendekati "monopoli", setidaknya oligopoli. Oleh karena itu,apabila kita ingin berbicara banyak dalam pasar global, mau tidak mau distorsi yang menghalangi fair competition harus dihilangkan. Sudah saatnya proteksi bagi industri yang tidak efisien dan "jago kandang" dihilangkan, setidaknya dikurangi porsinya.
Momentum liberalisasi perdagangan dunia dan disepakatinya WTO agaknya merupakan external pressure untuk meniadakan berbagai proteksi yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Ini perlu dibarengi dengan berbagai persiapan kelembagaan, infrastruktur, dan suprastruktur dalam upaya meningkatkan daya saing di pasar global. Pengembangan usaha kecil dan koperasi sebagai basis ekonomi kerakyatan merupakan salah satu langkah strategis yang perlu ditindaklanjuti dengan langkah nyata dan tidak hanya berhenti pada retorika politik.
OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) mendefinisikan daya saing sebagai tingkatan di mana suatu negara, dalam kondisi pasar yang bebas dan adil, dapat menghasilkan barang dan jasa yang berhasil dalam pasar internasional, yang secara simultan juga mampu memelihara dan memperluas pendapatan riil masyarakatnya untuk periode jangka panjang. Sementara itu, Institute for Management Development (IMD) (Garelli, 2003) menggunakan “definisi bisnis” sebagai “definisi “praktis” tentang daya saing sebagai “bagaimana suatu bangsa/negara menciptakan dan memelihara suatu lingkungan yang dapat mempertahankan daya saing perusahaan-perusahaannya.”
Pada tingkat makro, beberapa indikator biasanya digunakan untuk menelaah daya saing negara. Bank Dunia (World Bank, 2001) misalnya menyampaikan beberapa pengukuran daya saing, seperti:
•    Neraca perdagangan (trade balance)
•    Nilai tukar (exchange rate)
•    Upah (wages)
•    Ekspor (exports)
•    Aliran FDI (FDI flows)
•    Biaya tenaga kerja (unit labor costs).
IMD yang menganggap “definisi “praktis” daya saing sebagai “bagaimana suatu bangsa/negara menciptakan dan memelihara suatu lingkungan yang yang dapat mempertahankan daya saing perusahaan-perusahaannya,” menilai empat faktor utama penentu daya saing, yaitu:
•    Kinerja Ekonomi (Economic Performance).
•    Efisiensi Pemerintah (Government Efficiency).
•    Efisiensi Bisnis (Business Efficiency).
•    Infrastruktur (Infrastructure).
 Berdasarkan uraian di atas ternyata banyak hal yang mempengaruhi rendahnya index daya saing global,  dan salah satu yang di kemukakan di atas dan menurut saya merupakan masalah yang paling signifikan adalah masalah efisiensi pemerintah.  kerumitan birokrasi dan kurang terorganisasinya koordinasi antarlembaga negara adalah faktor utama penyebab tidak efisiennya pemerintah.
Prof. Firmanzah, Ph.D,  pada saat pengukuhan beliau sebagai Guru Besar dalam Ilmu Manajemen Strategik pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia di kampus UI Depok, rabu (18/08/2010) dalam pidatonya beliau mengatakan bahwa Upaya meningkatkan daya saing Indonesia membutuhkan strategi penataan hubungan kelembagaan. Baik lembaga di tingkat nasional, daerah maupun industri. Dikatakan juga bahwa pekerjaan ini merupakan tugas kolektif dari setiap elemen bangsa Indonesia.  Untuk menjelaskan hal ini beliau menyampaikan suatu teori yang disebut “Boundary Spanner”, dikatakan bahwa kemampuan “Boundary spanner” untuk secara aktif menjaga keterkaitan (linkage), kepercayaan (trust), kerjasama kelembagaan, berkomunikasi dan menyelesaikan konflik kelembagaan akan sangat menentukan kualitas koordinasi antar unit.
Pada tahun 2008 sampai dengan 2009, The Center for Creative Leadership (CCL) melakukan survey terhadap 128 senior eksekutif yaitu orang-orang yang berpartisipasi dalam program  CCL tentang Leadership.    Para eksekutif itu adalah senior level di organisasinya dengan 15 tahun pengalaman manajemen dan bertanggungjawab terhadap paling sedikit 500 pekerjanya. Beberapa pandangan yang terungkap dari pandangan para senior eksekutif itu adalah bahwa saat ini tantangan bisnis jangkauannya melewati batas-batas perusahaan sehingga membutuhkan kepemimpinan yang lebih baik.  Para senior eksekutif yang ikut dalam survey ini megetahui bahwa pemecahan masalah untuk tekanan tantangan bisnis sekarang berkisar dari krisis energi global kepada energi hambatan untuk mengarahkan inovasi, bersandar pada batas antara interseksi, horisontal, orang-orang berkepentingan demografi dan geografi.  Hasil survei ini juga menunjukkan bahwa sekitar 86 % senior eksekutif dalam study ini percaya adalah sangat penting bagi mereka bekerja efektif melewati batas2 aturan kepemimpinan yang mereka buat. Namun sebaliknya hanya 7 % dari eksekutif ini yang percaya bahwa mereka telah efektif dalam melakukan hal itu. Sehingga mereka percaya bahwa kedepan di butuhkan seorang pemimpin yang mengerti dan melaksanakan dengan efektif Kepemimpinan Boundary spanning.
Hasil penelitian ini juga menjelaskan katagori dari batasan batasan yang dungkapkan oleh senior eksekutif yang menjelaskan frekwensi bekerja didalamnya. Terdapat 6 jenis boudary dengan peringkat masing2 yaitu:
1.    Vertikal (Across levels and hirarchy) 7 %
2.    Horizontal Across funtions and expertise 71 %
3.    Stakeholder (beyond boundaries of the firm, with external partners) 17 %
4.    demographic (across diverse groups. Eg gender, ethnicity, nationality) 17 %
5.    geograpic (Across regions and locality) 26 %

Berdasarkan fakta-fakta, teori-teori dan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan seperti dijelaskan di atas yang berkaitan dengan Boundary Spanning Leadership,  dan daya saing negara maka penelitian  komparatif mengenai hal tersebut dalam konteks baru yaitu bidang pelayanan publik antara negara maju dan negara berkembang menjadi hal yang sangat penting. Selama ini kita hanya merasa ada yang tidak beres dengan kemampuan Boundary Spanning Leadership para pemimpin kita terutama jika dikaitkan dengan daya saing global, namun kita belum pernah dapat mengidentifikasi secara pasti dan detail hal-hal apa yang bermasalah dan sangat mendesak untuk diperbaiki jika dibandingkan dengan negara maju.
Dengan dapat teridentifikasinya model Boundary Spanning Leadership pimpinan-pimpinan institusi pelayanan publik di Negara Maju dan berkembang khususnya kaitannya dengan daya saing suatu negara maka nantinya akan dapat dibandingkan kemampuan Boundary Spanning Leadership pimpinan-pimpinan institusi pelayanan publik Negara-negara maju dan berkembang, untuk kemudian dianalisa, dievaluasi dan di carikan solusi peningkatan kemampuan Boundary Spanning Leadership pimpinan-pimpinan institusi pelayanan publik Negara berkembang (Indonesia) terutama kaitannya dengan peningkatan daya saing negara bahkan bagi pimpinan nasional Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar