Kamis, 05 Januari 2012

DOSA BARU DI TAHUN BARU

Hayati Nufus

Sudah menjadi tradisi masyarakat di seluruh dunia menjadikan momentum pergantian tahun sebagai saat-saat yang paling dinantikan kehadirannya. Berbagai jenis acara dirancang sedemikian rupa oleh seluruh lapisan masyarakat, mulai dari level keluarga hingga pemerintah, individu atau kolektif agar prosesi pergantiaan tahun itu meninggalkan kesan paling mendalam dan pengalaman paling berkesan, bahkan bila mungkin menjadi cerita dan histori tak terlupakan seumur hidup. Karena itulah, keriuhan dan kemeriahan berbagai acara di tahun baru menyelusup ke seluruh sudut ruang dan waktu. Tidak hanya di kota besar, tapi juga di perkampungan terpencil. Tidak hanya monopoli keluarga yang tinggal di rumah mewah, tapi juga bisa dinikmati oleh keluarga yang bernaung dalam gubug reot.  Mereka menanti dengan perasaan tegang campur gembira detik-detik berakhirnya tahun lama ke tahun baru. Mata melotot memandang jarum jam serentak menyentuh angka 12 tepat. Dan gemuruh petasan, letusan senapan, suara terompet, teriakan hingga suara itu pun membahana di angkasa.

Datangnya tahun baru juga dijadikan oleh mayoritas masyarakat sebagai momentum untuk melakukan instrospeksi atau muhasabah; mensyukuri sukses yang telah diraih, dan mengevaluasi kegagalan dan segala penyebabnya, lalu membuat dan merancang resolusi baru untuk merebut keberhasilan pada tahun yang akan datang.

Tradisi instrospeksi dan merancang resolusi baru tentu positif dan baik adanya. Hanya saja masyarakat kita kerap lalai mengawali niat baik itu dengan langkah awal yang baik pula. Lihatlah bagaimana mereka melalui malam pergantian tahun itu dengan pesta pora, hura-hura, maksiat, dan tenggelam dalam dosa baru. Kita nyaris sulit menemukan acara menyambut pergantian tahun itu dengan nuansa yang lebih tenang, khusyu dan mendekatkan diri kepada Sang Khaliq sebagai tempat memohon dan mengharap segala kebaikan untuk hari-hari yang akan kita lalui. Penyesalan terhadap kegagalan apalagi pada dosa yang telah diperbuat pada tahun sebelumnya tak nampak dalam laku. Hari baru itu bahkan dinodai gelimang dosa dan kemaksiatan.
Mungkin kita bisa menyebutkan berbagai jenis dosa itu, mulai dari hiburan di atas panggung atau dilayar televisi yang menampilkan para penyanyi wanita dengan pakaian seronok mengumbar aurat, goyangan erotis, minum minuman keras, perzinahan dan lain sebagainya. Semua itu menjelaskan betapa awal tahun baru itu disambut dengan dosa-dosa baru pula.

Itulah budaya masyarakat dunia dewasa ini, dan tanpa sadar juga menjadi budaya dan tradisi tahunan kita. Padahal bila merujuk pada pesan-pesan Rasulullah saw., atau shalafushshalih tentang bagaimana seharusnya kita menyamput pergantian tahun itu, maka kita tidak menemkuan hadits yang menganjurkan untuk melakukan hal tersebut. Apalagi merayakan datangnya tahun baru Masehi. Bila pun kita ingin menyambut pergantian tahun, maka tentu lebih layak dan patut bila kita merayakan datangnya tahun baru Hijriah dengan memperingati dan mengenang kembali hijrah Rasulullah saw. bersama para sahabatnya ke Madina, mengetahui asal mula penetapan kalender Islam, sekaligus mendekatknya kaum Muslimin dengan bulan-bulan hijriah, dimana tidak banyak kaum Muslimin yang memahami dan menghafalnya dengan baik.

Demikianlah seharusnya kita memaknai pergantian tahun baru, menyambut datangnya hari baru dan kesempatan baru untuk melakukan amal-amal kebaikan. Merancang program dan agenda-agenda kerja baru seraya memohon kepada Allah Ta’ala semoga amal-amal yang kita lakukan pada hari-hari yang akan datang senantias mendapatkan limpahan keberkahan dan ganjaran kebaikan dari-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar