Sabtu, 28 Januari 2012

Masyarakat, Televisi, dan Tayangan Popular


(Maria Ulfah, 01 08 034)

Dalam satu dasawarsa terakhir, dunia pertelevisian Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat. Perkembangan tersebut antara lain ditandai dengan hadirnya sejumlah stasiun televisi baru yang mengusung beragam tema. Hingga awal tahun 2006 saja, masyarakat (khususnya di sekitar Jakarta) dapat menikmati tidak kurang dari sebelas televisi berskala nasional dan tujuh televisi berskala lokal . Tentunya, perkembangan tersebut dengan sendirinya menuntut insan pertelevisian untuk bersikap lebih kreatif dalam menyajikan beragam acara kepada khalayak pemirsa. Bagi stasiun televisi yang telah eksis, kreativitas tersebut akan membantunya mempertahankan setiap pemirsanya sedangkan bagi stasiun televisi yang baru, kreativitasnya dalam menyajikan beragam acara akan membantunya untuk merebut perhatian masyarakat luas serta membentuk pemirsanya yang setia.
Kehadiran sejumlah stasiun televisi di Indonesia (terlebih di sekitar Jakarta) memperoleh apresiasi tersendiri dari masyarakat luas. Masyarakat sebagai pemirsa menyambut kehadiran mereka dengan gembira. Kegembiraan tersebut tidak terlepas dari semakin banyaknya hiburan yang dapat dipilih masyarakat dengan biaya yang relatif murah. Beragam hiburan murah ini pun dipandang mampu menjadi tempat pelarian sementara bagi masyarakat yang ingin melepaskan diri dari berbagai rutinitas hidup keseharian yang melelahkan.
Televisi memang identik dengan hiburan. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena semenjak ditemukan, televisi lebih berperan sebagai alat hiburan masyarakat. Namun, televisi tidak hanya berperan sebagai alat hiburan. Selain sebagai alat hiburan, televisi pun memiliki sejumlah fungsi lainnya.
Televisi berfungsi sebagai media untuk mendapatkan informasi. Hal ini dikemukakan antara lain oleh Joseph Dominick R dan Dennis McQuail. Di Indonesia, hal ini diperkuat oleh hasil survey AC Nielsen pada tahun 2001 yang memperlihatkan bahwa dibandingkan surat kabar dan radio, ternyata 80,4% dari total penduduk dewasa (di atas 15 tahun) lebih memilih televisi sebagai media untuk mendapatkan informasi . Televisi berfungsi pula sebagai jembatan atau medium yang mengkorelasikan dirinya dengan pemirsanya. Selain itu, televisi menjadi medium untuk melanggengkan dan mewariskan nilai-nilai budaya di dalam masyarakat. Fungsi lain yang diperankan oleh televisi adalah sebagai penunjuk arah pencapaian tujuan masyarakat dalam segala bidang kehidupan. Namun dari semua fungsi yang ada, Dominick dan McQuail menegaskan bahwa menghibur tetap menjadi fungsi televisi yang paling dominan.  Karena fungsi menghibur ini pulalah, televisi mampu menghipnotis pemirsanya untuk bertahan di depan televisi dan membuat masyarakat tidak bisa hidup tanpa televisi. Dengan demikian, peran televisi menjadi semakin dominan dalam kehidupan masyarakat.
Berpijak pada fungsi memberikan hiburan dan informasi, sejumlah stasiun televisi mengembangkan berbagai program acara baru untuk ditawarkan kepada khalayak pemirsa. Sebenarnya, program-program tersebut tidak sepenuhnya baru melainkan dibuat berdasarkan hasil duplikasi atau adaptasi dari tayangan stasiun televisi lainnya, baik dari stasiun televisi luar negeri maupun stasiun televisi dalam negeri yang telah mendulang sukses . Dalam perkembangannya, program-program tersebut dikategorikan sebagai program popular. 
Suatu program acara televisi disebut popular bila khalayak berminat dan minat ini akan menumbuhkan minat pengiklan. Suksesnya sebuah program akan menelurkan jenis atau model program acara yang hampir sama di berbagai stasiun televisi. Hal ini mencerminkan bekerjanya prinsip-prinsip ekonomi yakni hukum pasar (demand-supply). Program yang popular diasumsikan melejit karena adanya permintaan dari khalayak/masyarakat sendiri atas program-program tersebut. Artinya, pihak televisi mengaku hanya mencoba membaca selera masyarakat dan kemudian memproduksi serta mereproduksinya. Keluhan atau tanggapan negatif terhadap suatu tayangan yang ada, cenderung dianggap minor. Bagi pengelola media, tingginya rating acara-acara tersebut menjadi indikator utama tingginya permintaan pasar, khalayak pemirsa. Menariknya, apakah benar demikian? Apakah rating hanya sebagai strategi industri media demi kepentingan mereka? Bagaimana masyarakat menyikapi suatu program acara di televisi?
Seperti telah diungkapkan di atas, suatu program acara yang popular diasumsikan melejit karena tingginya permintaan masyarakat pemirsa. Dengan asumsi ini, maka keberadaan suatu program acara di televisi sangat ditentukan oleh tingkat minat masyarakat pemirsa. Dalam banyak kasus, asumsi ini terbukti benar karena terdapat beragam program yang akhirnya tidak mampu bertahan karena masyarakat tidak lagi meminatinya. Ketidakmampuan program tersebut untuk bertahan ditandai dengan semakin berkurangnya frekuensi dan intensitas penayangan suatu program dan dalam kasus tertentu, program acara tersebut akhirnya sama sekali tidak ditayangkan.
Sebagai contoh, sepanjang tahun 2004 tayangan bertema mistik, goyang dangdut, seksualitas, kriminalitas, dan talent show menghiasi hampir seluruh stasiun televisi Indonesia. Program-program acara dengan tema tersebut cenderung menguasai jam tayang televisi. Akibatnya, masyarakat pun menjadi terbiasa menyisihkan waktunya untuk menikmati program-program tersebut bersama anggota keluarganya. Namun di tahun 2005, program-program popular di atas mulai ditinggalkan masyarakat pemirsa dan pihak stasiun televisi terpaksa mempertimbangkan keberadaan tayangan-tayangan tersebut.
Tayangan bertajuk talent show tetap dipertahankan namun proses waktu untuk mencari orang-orang berbakat tersebut diperpanjang. Sementara, program-program acara kriminalitas dikembalikan ke model pemberitaan. Lain halnya dengan tayangan bertema seksualitas dan goyang dangdut. Kedua jenis tayangan ini semakin berkurang frekuensi penayangannya dan jam tayangnya pun dipindahkan di luar waktu utama (prime time). Lain lagi dengan tayangan bertema mistik. Berbagai stasiun televisi yang sebelumnya berlomba-lomba menyajikan tayangan yang identik dengan perburuan makhluk gaib tersebut, tidak lagi memberikan tempat bagi tayangan sejenis. Pihak media menggantikan tayangan-tayangan tersebut dengan program acara popular lainnya yang sedang diminati masyarakat yaitu tayangan bernuansa religi .
Turunnya minat masyarakat terhadap suatu program popular dipandang pihak media lebih disebabkan bergesernya minat masyarakat terhadap suatu tema tayangan . Pergeseran minat tersebut ditandai pihak media dengan menurunnya rating suatu tayangan. Ketika lembaga survey seperti AC Nielsen menyatakan rating suatu program acara menurun dengan tajam, maka program tersebut tidak lagi dinyatakan sebagai program popular. Dengan laporan hasil rating inilah, pihak media menghitung untung-rugi penayangan suatu program acara.
Terlepas dari persoalan rating, pergeseran minat yang berakibat pada perubahan pola tontonan masyarakat dapat disebabkan oleh banyak hal. Kejenuhan dan penolakan masyarakat terhadap materi suatu program acara merupakan dua faktor utama yang mempengaruhi situasi tersebut. Faktor kejenuhan terkait dengan tingginya frekuensi dan intensitas penayangan suatu program acara yang sedang popular. Sementara, penolakan masyarakat terhadap suatu program yang popular terkait dengan materi tayangan yang dianggap bertentangan dengan norma-norma yang dipegang teguh masyarakat seperti norma agama, sosial, dan budaya. Faktor terakhir inilah yang kerap kali lebih mampu menggeser keberadaan suatu tayangan di televisi. Sebagai contoh, tayangan bertema mistis ditentang beberapa pihak karena dianggap mampu merusak keyakinan seseorang sedangkan tayangan bertema goyang dangdut dan seksualitas ditolak sebagian anggota masyarakat karena dianggap mampu merusak moral bahkan menyuburkan pornografi dan pornoaksi. Uniknya, faktor kejenuhan maupun penolakan masyarakat seakan-akan tidak menyentuh keberadaan salah satu program popular lainnya yaitu tayangan infotainment.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar