Rabu, 11 Januari 2012

GAYA HIDUP REMAJA ‘ALAY’ (Sebuah renungan, mengapa kefakiran dekat dengan kekafiran...?!)

Burhanita


Belum lama berselang, di sebuah Mall, lewat di depanku serombongan remaja putra dan putri, kira-kira usia SMP-SMA. Gaya mereka sebagaimana kebanyakan gaya remaja masa kini, rambut di cat, gaya pakaian ketat dan terbuka di beberapa bagian, sambil memainkan Hp bahkan BB. Mungkin inilah sebagian dari ‘remaja-remaja alay’, menurutku. Mungkin mereka mencoba berpenampilan ‘trendy’, tapi –maaf- wajah dan penampilan itu tidak bisa menyembunyikan bahwa mereka terlihat berasal dari kalangan menengah ke bawah.
Aku jadi teringat sebuah tayangan reality show di sebuah Televisi Nasional terkemuka beberapa waktu yang lalu. Judul tayangan itu tentang Fenomena Remaja ‘ Alay’ di Jakarta. Ditampilkan sosok seorang remaja (putri) alay; berasal dari keluarga tidak mampu, rumah hanya terdiri dari satu ruang berukuran kira-kira 3x3 m persegi, anak tertua dari 4 bersaudara, ibunya bekerja sebagai PRT, ayahnya sebagai pedagang asongan. Ditampilkan bagaimana gaya hidup sang anak bersama teman-temannya. Berusaha ‘gaul’ dan ‘trendy’; memakai make-up ‘murahan’, tidak bersekolah, favorit mereka adalah artis-artis terkenal, mereka sering mengikuti acara-acara live show di TV (dengan dibayar tentu saja), seperti acara ‘Dasyat’ dan semacamnya.
Fenomena ‘alay’ ini juga nampak di depan mataku, di lingkungan tempat aku tinggal. Remaja ini mencoba berprilaku ‘gaul’ dan ‘trendy’, dengan gaya hidup yang dibuat-buat (baca : dipaksakan) terlihat ‘keren’. Kontras dengan kondisi keluarga dan lingkungan tempat mereka tinggal. Alih-alih ‘enak dilihat’, malah lebih sering mendapatkan sorotan negatif dari masyarakat.

Apa itu’ Alay’?

Alay adalah singkatan dari “anak layangan”, yang diartikan sebagai anak kampung, kampungan atau norak. Sebagian menyebutnya “anak lebay” yang suka berlebihan dan sok eksis. Sebagian lain menyebutnya juga “Anak Klayaban”. Beberapa tahun terakhir ini istilah Alay semakin santer terdengar. Mereka adalah anak-anak remaja yang terbawa arus trend modernisasi Barat (globalisasi) saat ini yang datangnya tidak difilter dengan baik. Ada yang mengatakan bahwa sosok anak layangan ini tercipta karena banyaknya anak-anak kampungan yang hobi nongkrong di pinggir jalan dengan gaya setinggi langit, mengucapkan kata-kata kasar, dan menggoda orang lewat. Salah satu ciri fisiknya memiliki rambut berwarna merah, yang diindikasi karena mereka hobi main layangan.
Dalam pandangan psykholog, Alay mempunyai arti sebagai berikut.
Menurut Koentjara Ningrat, “Alay adalah gejala yang dialami pemuda-pemudi Indonesia, yang ingin diakui statusnya diantara teman-temannya. Gejala ini akan mengubah gaya tulisan, dan gaya berpakain, sekaligus meningkatkan kenarsisan, yang cukup mengganggu masyarakat dunia maya (baca: Pengguna internet sejati, kayak blogger dan kaskuser). Diharapkan Sifat ini segera hilang, jika tidak akan mengganggu masyarakat sekitar”
Sedangkan menurut Selo Soemaridjan, “Alay adalah perilaku remaja Indonesia, yang membuat dirinya merasa lebih keren, cantik, hebat diantara yang lain. Hal ini bertentangan dengan sifat Rakyat Indonesia yang sopan, santun, dan ramah. Faktor yang menyebabkan bisa melalui media TV (sinetron), dan musisi dengan dandanan seperti itu.”

Dalam perbincangan dialog pagi di Radio DS FM Solo hari Jum'at 14 Oktober 2011, diangkat tema "Fenomena Anak Alay", dengan menghadirkan dua narasumber penulis buku remaja, yaitu Ustadz Burhanshodiq dan Sosiolog dari Jakarta Dr. Musni Umar.

Menurut Burhansodiq, fenomena Alay adalah gejala diantara remaja Indonesia dimana mereka ingin terlihat eksis atau diakui, dengan mengubah gaya-gaya mereka, termasuk gaya tulisannya, gaya berpakaiannya sekaligus meningkatkan ke-narsissannya. Trend penulisan Alay ini dimulai pada penulisan-penulisan bahasa SMS dan di dunia maya atau internet. "Mereka ini seperti layangan, yang mudah sekali terbawa angin, mudah sekali terbawa arus," ujar Burhansodiq.

Sementara itu, Dr. Musni Umar mengatakan fenomena Alay ini tidak menjadi masalah pada remaja itu, tapi di masa depan akan menjadi persoalan tersendiri. Anak-anak Alay ini adalah remaja yang tidak punya identitas diri. Lebih lanjut Dr. Musni juga menyinggung fenomena Alay ini berhubungan dengan kekuatan iman masyarakat Indonesia yang harus dibangun. Karena dengan kekuatan iman akan melahirkan optimisme.  Karena menurut beliau, anak-anak Alay ini tidak mempunyai sikap optimisme dalam menjalani hidupnya.



Gaya hidup ‘Alay’, kefakiran dekat dengan kekafiran?


Dimasa sekarang kita memang sering melihat mode-mode dan gaya-gaya baru yang mengikuti trend masa kini mulai dari fashion, style, dll. Biasanya yang ketularan adalah para remaja. Tak jarang para remaja rela merogoh saku untuk mempermak penampilan dan membeli perlengkapan guna menunjang gaya yang diinginkan. Termasuk gaya remaja Alay ini, mereka adalah anak muda yang berlebihan, dalam segi penampilan maupun perkataan dan tingkah laku. Para remaja ini seringkali memakai baju yang aneh-aneh seperti warna baju yang mencolok dengan asesoris yang berlebih juga. Dalam tingkah laku mereka  juga sering sekali berlebihan. seperti gaya bicara yang aneh dan lain dari orang biasanya. Mereka juga membuat gerakan-gerakan aneh tiap berbicara atau melakukan sesuatu.
Sebenarnya tidak diketahui pasti kapan alay muncul di Indonesia, yang jelas munculnya alay dibarengi dengan maraknya situs-situs pertemanan seperti Friendster, MySpace, Facebook,dll. Dilihat dari dampaknya, alay dapat membuat para remaja-remaja penganut alay lupa akan bahasanya sendiri, bahasa Indonesia. Kenapa? Karena pada umumnya yang diketahui oleh para penganut cyber, para alay sesungguhnya telah merusak citra dan kaidah bahasa Indonesia, seperti penambahan huruf dalam suku kata. Namun dampak negatifnya bukan hanya itu, para pengamat amatir pun juga beropini bahwa fenomena alay juga bisa merubah moral remaja, karena alay yang dimaksud adalah alay dalam berperilaku seperti dalam berpakaian, bertingkah laku, bergaul dan lain-lain. Sering kita jumpai banyak remaja yang berpakaian ala metal/rock yang amburadul, yang pada aslinya para rocker pun tak berpenampilan seperti itu. Entah mereka dapat inspirasi berpakaian seperti itu dari mana, yang jelas para alay yang berpakaian seperti itu menimbulkan pandangan miring dari para masyarakat sekitar, karena style mereka berkaitan erat dengan tingkah laku amoral. Para remaja yang berpenampilan sedemikian rupa pun mayoritasnya adalah remaja yang salah bergaul, mereka dekat dengan dunia gelap yang dapat menghancurkan masa depan mereka sendiri.
Sebagian besar remaja alay berasal dari keluarga ekonomi yang tidak mampu. Dengan gaya hidup seperti ini, tentu saja butuh kocek yang besar. Di lain pihak, orang tua tidak sanggup memenuhi keinginannya. Mereka pun bukan remaja ‘kreatif’ yang bisa mendapatkan penghasilan. Lalu dari mana mereka memperoleh uang untuk memenuhi segala ‘kebutuhan’nya?
Aku kembali teringat dengan anak-anak ABG di lingkungan pinggir kali, padat dan kumuh, di dekat rumahku. Ibu mereka kebanyakan adalah tukang cuci rumahan atau PRT. Ayah mereka sebagiannya adalah pencari puing, tukang ojek, satpam dan kuli bangunan. Penghasilan orangtua mereka per bulan, aku taksir kira-kira maksimal 1 – 1,5 juta. Tapi gaya hidup mereka tidaklah ‘qonaah’. Uang jajan sehari rata-rata 10 ribu rupiah per anak. Uang pulsa rata-rata 100 ribu rupiah per anak. Belum lagi kebiasaan rame-rame ‘naik motor’, membuat sebagian orang tua mengambil kreditan motor. Mereka adalah anak-anak sekolah, tetapi kebanyakan bersekolah di sekolah swasta ‘buangan’, yang SPPnya di atas rata-rata sekolah negeri. Di lingkungan ini, menikah usia dini dan menjadi ibu di usia muda adalah sesuatu yang biasa. Dalam setahun terakhir ini, sepengetahuan saya ada 3 remaja di pinggir kali itu yang menikah karena ‘kecelakaan’.
Buat aku ini sangat mengherankan dan luar biasa. Kenapa mereka bisa menjadi remaja ‘alay’ seperti itu? Padahal kondisi ekonomi sangat tidak mendukung. Suara bentakan Ibu dengan sumpah serapah terhadap anak-anak ini merupakan hal yang biasa. Beberapa anak pernah tertangkap dan ditahan ditahan di kantor polisi karena mencuri. Sebagian besar anak-anak ‘drop out’ dari sekolah karena tidak sanggup melunasi bayaran. Inikah gambaran kehidupan modern sebagian remaja ‘metropolitan’? Mereka memilih gaya hidup ‘gaul’, ‘nge-trend’ atau apalah sebutannya, tapi sangat berlawanan dengan kondisi kehidupan sosial dan ekonomi mereka.
Jika aku baca di media, remaja bisa berbuat nekat agar keinginannya bisa terpenuhi. Mereka bisa memaksa orang tua untuk memberi uang sesuai keinginan mereka, bahkan bisa mencuri jika kepepet. Untuk remaja putri, tidak jarang mereka rela ‘menjual diri’ hanya untuk membeli ‘pulsa’, dari level yang ‘kelas teri’ sampai ‘kelas kakap’. Bahkan, kata mereka, jual organ pun tidak mengapa jika bayarannya pantas. Astagfirullah, sampai demikian kah cara mereka mencari uang? Aku hanya bisa mengeluas dada, beginilah realita masyarakat di sekelilingku, dan inilah pintu dawahku kepada mereka. Teringat aku perkataan Rasulullah SAW, “....kefakiran itu dekat dengan kekafiran...”.

Wallahu’alam


Tidak ada komentar:

Posting Komentar